Rabu, 06 Agustus 2014

Sejarah Kota Surabaya


tugu pahlawan tempo dulu


Surabaya secara resmi berdiri pada tahun 1293.Tanggal peristiwa yang diarnbil adalah kemenangan Raden Wijaya, Raja Pertama Mojopahit melawan pasukan Cina.
Peranan Surabaya sebagai kota pelabuhan sangat penting sejak lama. Saat Itu sungai Kalimas merupakan sungai yang dipenuhi perahu-perahu yang berlayar menuju pelosok Surabaya.
Kota Surabaya juga sangat berkaitan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia. Sejak penjajahan Belanda maupun Jepang, rakyat Surabaya (Arek Suroboyo) bertempur habis-habisan untuk merebut kernerdekaan. Puncaknya pada tanggal l0 Nopember 1945, Arek Suroboyo berhasil menduduki Hotel Oranye (sekarang Hotel Mojopahit) yang saat itu rnenjadi sirnbol kolonialisme. Karena kegigihannya itu, maka setiap Tanggal 10 Nopember, Indonesia memperingatinya sebagai Hari Pahlawan.
Hingga saat ini bekas-bekas masa penjajahan terlihat dengan masih cukup banyaknya bangunan kuno bersejarah di sini.
Asal kata “SURABAYA” dan Simbol “SURA” dan “BAYA”
Bukti sejarah menunjukkan bahwa Surabaya sudah ada jauh sebelum zaman kolonial, seperti yang tercantum dalam prasasti Trowulan I, berangka 1358 M. Dalam prasati tersebut terungkap bahwa Surabaya (churabhaya) masih berupa desa ditepian sungai Brantas sebagai salah satu tempat penyeberangan penting sepanjang sungai Brantas.
Surabaya (Surabhaya) juga tercantum dalam pujasastra Negara Kertagama yang ditulis oleh Prapanca tentang perjalanan pesiar baginda Hayam Wuruk pada tahun 1365 dalam pupuh XVII (bait ke-5, baris terakhir).
Walaupun bukti tertulis tertua mencantumkan nama Surabaya berangka tahun 1358 M (prasasti Trowulan) & 1365 M (Negara Kertagama), para ahli menduga bahwa Surabaya sudah ada sebelum tahun-tahun tsb.

Menurut hipotesis Von Faber, Surabaya didirikan tahun 1275 M oleh Raja Kertanegara sebagai tempat pemukiman baru bagi prajuritnya yang berhasil menumpas pemberontakan Kemuruhan tahun 1270 M. Hipotesis yang lain mengatakan bahwa Surabaya dulu bernama Ujung Galuh.
Versi lain mengatakan bahwa nama Surabaya berasal dari cerita tentang perkelahian hidup dan mati Adipati Jayengrono dan Sawunggaling. Konon setelah mengalahkan tentara Tartar, Raden Wijaya mendirikan sebuah kraton di Ujunggaluh, dan menempatkan Adipati Jayengrono untuk memimpin daerah itu. Lama-lama karena menguasai ilmu Buaya, Jayengrono makin kuat dan mandiri sehingga mengancam kedaulatan Majapahit. Untuk menaklukkan Jayengrono diutuslah Sawunggaling yang menguasai ilmu Sura. Adu kesaktian dilakukan di pinggir Sungai Kalimas dekat Paneleh. Perkelahian adu kesaktian itu berlangsung selama tujuh hari tujuh malam dan berakhir dengan tragis, karena keduanya meninggal kehabisan tenaga.
Kata “Surabaya” juga sering diartikan secara filosofis sebagai lambang perjuangan antara darat dan air, antara tanah dan air. Selain itu, dari kata Surabaya juga muncul mitos pertempuran antara ikan Suro (Sura) dan Boyo (Baya atau Buaya), yang menimbulkan dugaan bahwa nama Surabaya muncul setelah terjadinya peperangan antara ikan Sura dan Buaya (Baya).
Supaya tidak menimbulkan kesimpang-siuran dalam masyarakat maka Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya, dijabat oleh Bapak Soeparno, mengeluarkan Surat Keputusan No. 64/WK/75 tentang penetapan hari jadi kota Surabaya. Surat Keputusan tersebut menetapkan tanggal 31 Mei 1293 sebagai tanggal hari jadi kota Surabaya. Tanggal tersebut ditetapkan atas kesepakatan sekelompok sejarawan yang dibentuk oleh pemerintah kota bahwa nama Surabaya berasal dari kata “sura ing bhaya” yang berarti “keberanian menghadapi bahaya” diambil dari babak dikalahkannya pasukan Mongol oleh pasukan Jawa pimpinan Raden Wijaya pada tanggal 31 Mei 1293.
Tentang simbol kota Surabaya yang berupa ikan sura dan buaya terdapat banyak sekali cerita. Salah satu yang terkenal tentang pertarungan ikan sura dan buaya diceritakan oleh LCR. Breeman, seorang pimpinan Nutspaarbank di Surabaya pada tahun 1918.
Masih banyak cerita lain tentang makna dan semangat Surabaya. Semuanya mengilhami pembuatan lambang-lambang Kota Surabaya. Lambang Kota Surabaya yang berlaku sampai saat ini ditetapkan oleh DPRS Kota Besar Surabaya dengan Putusan no. 34/DPRDS tanggal 19 Juni 1955, diperkuat dengan Keputusan Presiden R.I. No. 193 tahun 1956 tanggal 14 Desember 1956 yang isinya :
1. Lambang berbentuk perisai segi enam yang distilir (gesty leerd), yang maksudnya melindungi Kota Besar Surabaya.
2. Lukisan Tugu Pahlawan melambangkan kepahlawanan putera-puteri Surabaya dalam mempertahankan Kemerdekaan melawan kaum penjajah.
3. Lukisan ikan Sura dan Baya yang berarti Sura Ing Baya melambangkan sifat keberanian putera-puteri Surabaya yang tidak gentar menghadapi sesuatu bahaya.
4. Warna-warna biru, hitam, perak (putih) dan emas (kuning) dibuat sejernih dan secermelang mungkin, agar dengan demikian dihasilkan suatu lambang yang memuaskan.
Sumber:Handinoto, Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Andi, Yogyakarta, 1996 (Website lama)


















 

Perempuan yang Menggentarkan Rezim, Marsinah Pahlawan Kaum Buruh

                 

 TERSEBUTLAH seorang perempuan yang bernama Marsinah, berasal dari desa Nglundo, Sukomoro, lahir pada tanggal 10 April 1969, ia berasal dari kalangan buruh tani yang kemudian dipaksa mencari pekerjaan di kota akibat lahan pertanian yang semakin sempit dan kemiskinan masyrakat pedesaan. Ia kemudian memperoleh pekerjaan sebagai buruh di sebuah pabrik arloji, PT Catur Putra Surya, Porong, Sidoarjo, Surabaya. Sosoknya yang selalu dikenang oleh kaum buruh dan aktivis karena kematiannya yang tragis disaat menjalankan protes terhadap perusahaan tempatnya bekerja.

Setelah menghilang selama 3 hari, tubuhnya ditemukan tak bernyawa di hutan di dusun Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, pada tanggal 8 Mei 1993 (yang kemudian dikenal sebagai Hari Marsinah). Hingga hari ini kasusnya masih belum menemukan kejelasan tentang siapa yang sebenarnya bertanggung jawab.

Ia Dibunuh, Tulang Panggul dan Lehernya Hancur
Dimulai dengan unjuk rasa yang dilancarkan oleh para buruh PT Catur Putra Surya pada tanggal 3 dan 4 Mei, karena kenaikan upah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah setempat sebesar 20 persen gaji pokok tidak kunjung dipenuhi oleh perusahaan. Mereka menuntut kenaikan gaji dari Rp1.700 menjadi Rp2.250 dan tunjangan sebesar Rp550 perhari. Marsinah, adalah salah seorang buruh yang aktif dalam rapat-rapat dan aksi-aksi tersebut meski pun ia bukan lah anggota serikat buruh karena kesibukannya di kerja-kerja sampingan lainnya demi mengumpulkan duit dan memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada tanggal 3 Mei, aksi mereka dihalang-halangi oleh Koramil setempat, tapi semangat para buruh tidak surut, malah pada tanggal 4 Mei mereka melancarkan aksi mogok total dengan 12 tuntutan mereka, termasuk tuntutan upah, tunjangan dan pembubaran Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada tanggal 5 Mei, Marsinah menjadi salah satu wakil buruh dalam perundingan dengan pihak perusahaan.
Namun pada siang hari tanggal 5 Mei, sebanyak 13 orang buruh rekan Marsinah dibawa ke Kodim. Disana mereka diinterogasi dibawah tuduhan melakukan rapat gelap, penghasutan dan dipaksa untuk menandatangi penyataan mengundurkan diri dari perusahaan. Demi mengetahui hal yang dinilainya janggal ini, Marsinah mendatangi markas Kodim seorang diri untuk menanyakan keberadaan rekan-rekannya.
Sepulangnya dari Kodim, keberadaan Marsinah tidak diketahui selama 3 hari hingga akhirnya ditemukan tidak bernyawa pada tanggal 8 Mei 1993, pada saat itu usianya 24 tahun. Kematiannya menyedot perhatian masyarakat luas, bahkan di tahun yang sama pula, ia memperoleh penghargaan Yap Thiam Hiem.
Dibawah sorotan masyarakat, pada tanggal 30 September 1993, sebuah tim penyidik dibentuk oleh pemerintah Jawa Timur. Hasilnya, 10 orang tersangka, yang salah satunya adalah anggota TNI, ditangkap dan diadili hingga tingkat kasasi Mahkamah Agung dan kemudian divonis tidak bersalah dan dibebaskan. Pada proses peradilan ini pun menyimpan banyak kejanggalan, misalnya saja penangkapan 8 petinggi PT Catur Putra Surya yang misterius dan pengalihan alibi menjadi pembunuhan dan pemerkosaan.
Di proses peradilan disebutkan bahwa Marsinah mengalami perkosaan, namun yang tidak pernah diungkap ke pengadilan saat itu adalah bahwa tidak ditemukan bukti-bukti kerusakan pada tubuh Marsinah yang mengarah kepada tindak pemerkosaan. Pada saat tubuhnya diotopsi ulang, hasil forensik menyatakan bahwa tulang panggul dan leher Marsinah hancur dan bukan disebabkan oleh pukulan benda tumpul. Hal ini menimbulkan ketidakpuasan dari berbagai kalangan dan menganggap ada rekayasa dalam kasus pembunuhan Marsinah dan proses peradilannya.
Kasus Marsinah sudah pernah berusaha diangkat kembali oleh berbagai kalangan, namun tidak juga menunjukkan titik terang, hal ini menunjukkan betapa terpinggirnya posisi buruh dan rakyat kecil di dalam proses peradilan Indonesia. Sementara itu, rekan-rekan Marsinah di PT. Catur Putra Surya melanjutkan perjuangan dan membentuk Serikat Buruh Kerakyatan yang berafiliasi kepada Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (Konfederasi KASBI).
Mereka Takut Pada Marsinah, Mereka Takut Pada Kaum Buruh!
Peristiwa tersebut paling tidak menunjukkan bagaimana negara, pengusaha dan militer berkongkalikong untuk merampas kesejahteraan rakyat kecil dan juga bagaimana rentannya posisi perempuan dalam perjuangan pembebasan rakyat dari penindasan. Kasus Marsinah yang mengandung indikasi campur tangan militer dalam usaha penghancuran gerakan buruh di era Soeharto berusaha dikaburkan lewat alibi bahwa pembunuhan itu adalah kasus pemerkosaan, meski bukti hanya menunjukkan bahwa ia mengalami penganiayaan berat dan bukan diperkosa.
Hal ini juga adalah tendensi patriarkis rezim ORBA yang masih bertahan hingga hari ini, kematian Marsinah yang berlatar belakang politik pengekangan gerakan buruh berusaha dikaburkan menjadi sebuah kasus pemerkosaan. Di dalam kacamata patriarkis, pemerkosaan adalah sebuah kasus kriminal biasa yang tidak bernilai politis seperti isu penghancuran gerakan buruh atau penghalangan perjuangan buruh, sehingga menjadikan kasus Marsinah sebagai kasus pemerkosaan akan meredam efek politis dari kematianya.
Rezim berhasil menghilangkan jasad dan nyawa Marsinah dari muka bumi, tapi mereka tidak akan pernah berhasil menghapuskan sosok dan semangat Marsinah dari para buruh dan kaum gerakan Indonesia. Marsinah yang kondisinya sama dengan buruh-buruh berupah rendah lainnya menjadi prasasti pengingat bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan yang memang haknya, kaum buruh akan berhadapan langsung dengan rezim; pemilik modal, pemerintah dan militer. Di masyarakat luas pun sosok Marsinah dikenang sebagai sebuah satire negara demokrasi.
Bertahun setelah kematiannya, Marsinah menjadi sosok yang subversif bagi rezim. Beberapa karya seni yang mengangkat kisah Marsinah dihalang-halangi oleh pemerintah, seperti film Marsinah karya Slamet Rahardjo yang oleh Menakertrans Jacob Nuwa Wea sempat diminta untuk ditunda rilisnya dan pementasan drama monolog Marsinah menggugat oleh Ratna Sarumpaet dilarang oleh kepolisian Malang meski pun sebelumnya sudah sukses diadakan di tujuh kota lainnya.
Pementasan drama tidak termasuk dalam hal yang membutuhkan ijin dari pihak kepolisian, cukup hanya memberikan surat pemberitahuan pelaksanaan. Namun bila pementasan yang bertajuk Marsinah Menggugat sampai dilarang oleh pihak keamanan, maka bisa disimpulkan ada hal terlarang dari pementasan tersebut. Apa hal terlarang tersebut? Marsinah, ya, Marsinah adalah kata subversif dalam kemapanan rejim selama ini.
Kondisi Buruh Hari Ini
18 tahun sudah berlalu sejak Marsinah dibunuh dan tanpa peradilan yang berpihak padanya, kondisi buruh masih juga belum membaik. Bila membaca pernyataan yang dikeluarkan oleh Konfederasi KASBI pada Hari Buruh Sedunia tahun 2011 ini tergambarkanlah situasi dunia dan kondisi kaum buruh hari ini.
Labor Market Flexibility (Sistem Pasar Kerja yang Lentur) yang diterapkan oleh rezim Neolib menurunkan sistem kerja kontrak dan outsourcing yang semakin melemahkan posisi buruh di dalam pekerjaannya, belum lagi perekonomian yang masih berorientasi pada penanaman modal asing mengakibatkan upah rendah masih menjadi sebuah opsi utama.
Kepentingan untuk menarik para penanam modal dan pelancaran sistem yang kapitalistik meminggirkan tugas negara yang sudah diamanatkan dalam naskah-naskah kemerdekaan dan perundangan dasar, yaitu mensejahterakan rakyat, seluruh rakyat tanpa pembedaan, sejahtera yang sesejahtera-sejahteranya!
Meski pun ada hukum yang dianggap mampu melindungi hak-hak buruh, namun dengan lemahnya posisi buruh dalam peradilan negara, maka hukum ini pun gagal menjalankan fungsinya. Lebih tepatnya, hukum di Indonesia memang tidak disusun untuk benar-benar berpihak kepada kaum buruh dan rakyat kecil. Sudah umum diketahui, kasus-kasus perburuhan yang sampai di meja peradilan hampir seluruhnya dimenangkan oleh pihak pengusaha.
Masih banyak sekali perusahaan yang menolak untuk merundingkan dan menandatangai Perjanjian Kerja Bersama antara pengusaha dan buruhnya, karena hal itu akan memberikan kesadaran akan posisi yang lebih tinggi pada buruh. Begitu juga sistem jaminan sosial menjadi semacam lagu nina bobo rakyat kecil pada umumnya dan kaum buruh pada khususnya, memberikan ilusi kesejahteraan dan perlindungan negara.
Kapitalisme, dalam bentuk Neoliberalisme tidak mempertimbangkan buruh dalam posisi yang setara dengan para pemilik modal, buruh hanya dijadikan bagian dari mesin-mesin produksi dan direbut harga kemanusiaannya dan negara telah membantu para pemiliki modal untuk melemahkan kesadaran juang kaum buruh lewat iming-iming permainan kata di lembar-lembar perundangan dan ilusi jaminan sosial.
Jelaslah bahwa selama sistem yang dipakai adalah sistem Neoliberalisme, selama itu pula lah kesejahteraan hanya akan menjadi milik segelintir orang, sementara rakyat kecil tidak akan pernah sejahtera.
Menanti Kebangkitan Massa Marsinah, Menanti Buruh Bertindak!
Melihat keterpurukan posisi buruh dalam alam yang kapitalistik, maka sangat mudah dipahami ketakutan rejim akan munculnya pemberontakan massa buruh. Pada saat beban kehidupan menghimpitm kesadaran para buruh akan situasinya akan meningkat, borok-borok kelakuan rejim terhadap kaum buruh akan semakin jelas terlihat dan dirasakan.
Saat buruh-buruh yang sadar dan penuh api kemarahan ini bangkit dan bersatu, maka dapat kita bayangkan betapa menyeramkannya situasi itu bagi rejim, ini sebabnya mereka berusaha membius kaum buruh lewat hegemoni paradigma perburuhan yang sejatinya hanya penghalusan makna dari perbudakan dan ilusi-ilusi jaminan kesejahteraan.
Di Indonesia, ada ribuan Marsinah yang belum berhasil mereka bunuh. Coba kita ambil kata kunci; Marsinah, Buruh, Perempuan, Unjuk Rasa Untuk Kenaikan Upah, Diculik, Dibunuh, Keterlibatan Militer, Tidak Ditemukan Pihak Yang Bertanggung Jawab. Lalu mari kita ambil pula beberapa kata kunci kondisi paska kematian Marsinah hingga hari ini; Buruh, Neoliberalisme, Upah Rendah, Diskriminasi Seksual, Hidup Tak Layak, Kemiskinan, PHK, Sistem kontrak dan outsourcing, Pengangguran, Gerakan Buruh Yang Masih Mengakar.
Saat mencoba menghubungkan kata-kata kunci dari kedua masa itu, kita ingat juga bahwa dalam sejarah manusia, sudah lazim bahwa satu sosok teraniaya bisa membangkitkan dan menularkan rasa senasib sepenanggungan, begitu pula Marsinah. Kaum buruh yang memiliki kesamaan latar belakang dengan Marsinah tentunya memiliki sentimen kuat atas apa yang dialaminya, karena mencerminkan kehidupan kaum buruh secara umum. Bila sentimen dan kesadaran buruh akan kondisi mereka meluas dan menguat, maka sangat pasti pemberontakan akan terjadi.
Bisa dilihat betapa rezim gentar akan nyala api yang telah dihidupkan Marsinah di dalam jiwa kaum buruh, nyala api yang bila bersatu akan membakar habis kemapanan penindasan mereka, menjatuhkan mereka ke bawah kekuasaan yang sejati, kekuasaan kelas pekerja. Karena hal ini, selamanya Marsinah akan tetap hidup, selamanya Marsinah akan menjadi bagian dari api perlawanan kaum buruh, selamanya Marsinah akan jadi pahlawan kaum buruh, pahlawan kaum tertindas.
Ditangan kaum buruhlah keputusan berada, apakah akan merebut kehidupan yang dipasung oleh rezim atau kah berdiam diri dan tunduk menjadi budak para pemilik modal. Namun karena manusia itu sejatinya adalah sederajat dan memiliki hak yang sama untuk hidup selayaknya manusia, layak yang paling layak tidak hanya cukup makan cukup minum, maka kaum buruh dan rakyat tertindas lainnya harus bangkit melanjutkan perjuangan pemerdekaan kaum tertindas.
Mari kita buat mereka gentar, mari letakkan kemenangan ditangan kelas buruh. Selamat Hari Marsinah, Pahlawan Kaum Buruh! Kobar nyalakan api perlawanannya di bumi persada!
(Sumber: Rakyat Merdeka, 7 Mei 2011, penulis: Jovanka Edwina, Anggota Kolektif Perempuan Pekerja Yogyakarta)

Mbah Jiwo,sinden idola Bung Karno kini terbaring sebatang kara

Nama Mbah Jiwo atau Nyi Sudjirah (85) dimasa mudanya sangat terkenal di lingkungan Kraton Surakarta dan Kota Solo Raya. Mantan Abdi Dalem Swarawati Kraton Surakarta Hadiningrat tersebut dulunya mempunyai tugas mulia sebagai duta seni kraton. Sudjirah sering menjadi wanita idola kala itu.
Apalagi jika sedang mendendangkan alunan lagu-lagu jawa. Bahkan mantan Presiden Sukarno, Raja Keraton Surakarta Pakubuwono XII pun mengagumi keindahan suaranya. Sudjirah bahkan tak jarang, menjadi utusan Kraton Surakarta, untuk pentas ke luar negeri.
Kejayaan itu lambat laun menghilang saat Nyi Sudjirah berada pada usia renta. Dia kini tergolek sakit tak berdaya. Bahkan, tidak ada keluarga yang merawat di rumah yang terbuat dari bambu (gedheg) di kampung Wirengan RT 2 RW 4 Baluwarti, Pasar Kliwon, atau masih di dalam lingkungan kraton yang merupakan pecahan dinasti Mataram tersebut.

Saat merdeka.com berkunjung ke rumahnya, bersama PMI Solo dan Paguyuban Humas Hotel di Solo Raya, Senin (4/3), suasana haru sempat menyeruak. Mbah Jiwo, sang swarawati, tampak bersemangat menyambut kedatangan para pembesuk. Dengan terbata - bata Mbah Jiwo menjawab salam dan mengucapkan terima kasih diberi bantuan tali asih oleh rombongan.
Humas Palang Merah Indonesia (PMI) Solo, Sumartono Hadinoto yang memimpin rombongan mengatakan kunjungan tersebut untuk memberikan bantuan pada mbah Jiwo untuk meringankan sakitnya.
“Ini tadi spontanitas dari teman-teman wartawan, perhotelan dan PMI. Kami segera menindaklanjuti, setelah mengetahui kondisi simbah seperti ini. Kita periksa kesehatannya, dan kita langsung kirim ke RSUD Moewardi,” ujar Sumartono.
Menurut Sumartono, sosok mbah Jiwo sebagai budayawan yang pernah mengharumkan nama Indonesia di luar negeri, harus mendapat perhatian. Apalagi di masa tuanya, kondisinya sangat memprihatinkan. Masyarakat dan pemerintah lanjut Sumartono, seharusnya peduli untuk menyantuninya.
Pada masa kejayaannya Nyi Lurah Sudjirah atau Mbah Jiwo pernah menjadi Duta Seni. Nenek yang tergulai sakit tanpa ada keluarga yang merawat tersebut pernah mengikuti rombongan duta seni ke Hongkong, Jepang dan sejumlah negara di Eropa.
“Mbah Jiwo itu sudah lama hidup sebatang kara dan menderita sakit gula. Selama sakit warga di sini yang merawat. Kalau keluarganya, tidak ada yang peduli. Dia tak punya anak, suaminya sudah lama meninggal,” ujar Hary warga setempat.
Sementara Pravita Oktavia dari paguyuban Hotel Solo Raya mengaku prihatin dengan kondisi mbah Jiwo. Pemerintah dan Kraton seharusnya peduli dengan nasib Mbah Jiwo, yang pernah mengharumkan nama bangsa.
“Tadi mendengar kabar ini dari teman - teman wartawan. Kami akan berikan bantuan seadanya. Ada yang bawa, sprei, bantal, guling, selimut, peralatan mandi, pakaian dan lain-lain. Semoga bermanfaat buat beliau,” katanya.
(sumber: Merdeka Online)

Jokowi dan Pemilu 1955

Pada tanggal 29 September 1955 di seluruh Indonesia berlangsung pemilihan umum pertama setelah Proklamasi. Bung Karno berada diantara rakyat ikut memberikan suaranya. Tapi dari foto ini kok aneh disebelah kanannya agak kebelakang ada orang yang mirip Jokowi. Tentu saja bukan dia karena Jokowi saat itu belum lahir (Jokowi lahir tanggal 21 Juni 1961)....Kalau demikian siapa dia ? Ini ngalamat kalau Jokowi bakal jadi Presiden rupanya.....lha wujudnya saja sudah muncul bersama Bung Karno 58 tahun yang lalu ? Napaknya disini juga ada dialog. Petugas berbaju hitam (mungkin pertugas KPU) bilang pada lelaki didepan Bung Karno: "Maaf Mas tolong beri jalan pada Presiden kita". Pemuda itu kurang senang dan bersungut. Lalu Bung Karno berkata: "Engga usah biarkan, saya juga rakyat Indonesia kok, harus ikut aturian ngantri mencoblos bersama rakyat"....Bung Karno lalu tersenyum...........